Selasa, 13 April 2010

Kisah Islami Kasih Sepanjang Jalan


Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak�c". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal�c

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.

Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.

Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.

Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c" bisikku perlahan.

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.

Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.

Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.

Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.

Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu... 


Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

memperkenalkan makna serta sejarah politik



Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam.
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang dmeikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.

Makna Politik Islam

Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).

Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.

Hakikat Politik Islam

Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.

Dilema Politik Islam

Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya.

Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.

Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.

Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.

Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".

Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam.

Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.

Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.

Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.

Problema Politik Islam

Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.

Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya.

Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.

Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.

Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.

Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.

Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.

Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.

Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.

Perubahan Politik Islam

Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an.

Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.

Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.

Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.

Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.

Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.

Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.

Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.

Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.

Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia.

Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".

Kesimpulan

Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.

Tafsir al qu`an

Tafsir Bil Riwayah atau Tafsir Bil Ma’tsur
1. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir Al Qur’an yang berasal dari Al Qur’an atau Sunnah atau perkataan Shahabat sebagai penjelasan terhadap maksud Allah pada Al Qur’an.
2. Contoh Tafsir Bil Ma’tsur
a. Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an
Allah berfirman pada Q.S Al Baqarah : 37


Kemudian datang penjelasan tentang apa yang ditemui Adam pada Q.S Al A’raaf : 23




b. Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah
Bahwasanya Rosulullah menjelaskan makna syirik dari firman Allah padda Q.S al An’am : 82





c. Tafsir Al Qur’an dengan peerkataan Shahabat
Yaitu Hadirs yang diriwayaatkan oleh Thobari dari Abbas tentang firman Allah “ ألا تعدلوا “ di tafsirkan dengan “ ألا تميلوا “
Zarqoni menukil dari Imam Ahmad bahwasanya tafsir bil ma’tsur ada 2 jenis yaitu :
1. Tafsir yang menunjukkan kebenarannya dan diterimanya, dan tafsir ini tidak seseorangpun yang berhak menolaknya
2. Tafsir yang periwayatannya tidak shahih karena beberapa sebab, dan tafsir ini wajib ditolak dan tidak boleh digunakan
3. Contoh kitab tafsir bil ma’tsur
a. Jamiul bayan ‘an tafsir atau Al Qur’an Imam thobari
Dikarang oleh Al Haafid Muhammad bin Jariir Ath Thobari. Lahir pada tahun 224 H dan meninggal pada tahun 310 H. dan kehususan kitab ini adalah didalamnya teerdapat beberrapa perkataan sahabat dan tabi’in beserta penetapan sanatnya, dan merajihkan atau memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Adapun prakteknya kebanyakan membahass hukum dan menyebutkan I’rab. Ddan kadang kadang menyebutkan sanat yang tidak sahih tanpa ada peringatan. Dan tafsir ini merupakan tafsir teertua yang sampai kepada kita dengan lengkap.
b. Tarsir Al Qur’an Al ‘Adhim Ibn Katsir
Dikarang oleh Al Haafidh ‘Imaaduddin Isma’il ibn Umar ibn Katsir Al Damasyqii. Lahir pada 700 H dan meninggal pada 774 H. Kitab ini menafsirkan Al Qur’an dengan beberrapa hadits dan kalam sahabat, dan beberapa komentar umum sebagai celaan ataupun penilaian dan merajihkan antara satu dengan yang lainnya.
c. Ad Diraru Al Mantsuru fi at Tafsir bil ma’tsur, Suyuti
d. Dikaarang oleh imam Jalaluddin As Suyuti, lahir pada 749 H dan wafaat pada 911 H
e. Al Mahrir Al Wajiz ( ‘Abdul Haq ibn Ghalib ibn ‘Ithyah Al Andalusi : 481-536 H)
f. Al Kasyfu wal Bayaan lil Tsa’labi
g. Mu’alimut Tanziil lil Baghowi
h. Al Jawaahir Al Hasan lil Tsa’labi
i. Fathul Qodir lil Asy Syaukani
B. Tafsir bil Ra’yi
1. Pengertian
Tafsir yang mana para mufassirnya dalam menjelaskan makna Al Qur’an berdasarkan atas ijtihadnyaa bukan dengan perkataan para sahabat atau tabiin. Tafsir ini juga dinamakan Tafsir Diraayah atau Tafsir Ma’quul

Adapun Muhammad Ali Ash Shobuni membgi tafsir ini menjadi 2 yaitu :
a. Mahmuud : tafsir yang sesuai dengan maksud Allah, jauh dari kebodohan dan sejalan dengan qowaid bahasa arab dan sesuai dengan ketentuan dalam pemahaman Al Qur’an
b. Madzmuum
2. Contoh Kitab Tafsir bil Ra’yi al Mahmuud
a. Mafaatihul Ghoib (Muhammad ibn Umar ibn Husain Al Razi)
b. Anwaar at Tanziil wa Asraarit Ta’wiil (Abdullah ibn Umar al Baidhowi)
c. Libaabi at Ta’wiil fi Ma’aani at Tanziil (Abdullah ibn Muhammad Al Khaazin)
d. Mudaarakut Tanziil wa Haqaaiqut Ta’wiil ( Abdullah ibn Ahmad An Nasfii)
3. Contoh Kitab Tafsir bil Ra’yi al Al Madzmuum
a. Al Kasyfu (Muhammad Az Zamkhasyiri)
b. Tanziihil Quran ‘an Al Muthaa’an (al Qaadhii Abdul Jabaar)


Munaasabat (kesepadanan dan keserasian ) dalam Al Qur’an

A. Pengertian Munasabah
Bahasa : bentuk yang sama dan berdekatan
Istilah : hubungan ayat Al Qur’an antara satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sepeerti satu kata yang sssaling sesuai dan berurutan maknanya.
Ibn Arabii : pengarahan hubungan antara kata kata dalam suatu ayat dengan setiap ayat sebelum dan sesudahnya atau surat sebelum dan sesudahnya.
B. Macam Macam Munasibah Dalam Al Qur’an dan Contohnya
1. Munasabah antara Ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain
Contoh antara


Dengan



2. Munasabah antara Surat Al Qur’an dengan surat yang lainnya
Yaitu Munasabah antara Surat Al Falaq dengan surat al Ikhlas. Sedangkan segi keserasiannya adalah bahwa Allah menerangkan tentang perintah Uluhiyyah pada surat Al Ikhlas kemudian diteruskan pada surat AL Falaq sebagai penjelas dan penjagaan terhadapnya kepada Allah dari berbagaimacam kejelekan.
Munasabah antara ayat dengan ayat yang lain kadang kala tertutup seperti firman Allah yang memberitahukan tentang apa-apa yang masuk ke bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan faidah nya yaitu menjadikan kedua ayat tersebut seperti pengawas dan syarikat.
Dan kadang hubungan keduanya adalah berlawanan sepeerti keserasian penyebutan rahmat setelah menyebutkan adzab atau kesenangan setelah ketakutan dan sebagainya yang merupakan tanda atau kelaziman logika seperti sebab dan yang menyebabkan atau alasan dan yang dialasi.

Asbabun Nuzul

A. Pengeertian
Yaitu peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Quran baik berupa suatu kejadian atau pertanyaan (mana’ul Qathan)
B. Kitab-kitab Asbabun Nuzul
1. Asbabun Nuzul karya Ali bin Madani
2. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi
3. Asbabun Nuzul karya Ibn Hajar
4. Lubab Al Mauqul fi Asbab An Nuzul karya As Suyuti
C. Manfaat
1. dapat mengetahui hikmah disyariatkannya syariat
2. Merupakan sarana terbaik untuk memahami makna AlTafsir Bil Riwayah atau Tafsir Bil Ma’tsur

1. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir Al Qur’an yang berasal dari Al Qur’an atau Sunnah atau perkataan Shahabat sebagai penjelasan terhadap maksud Allah pada Al Qur’an.
2. Contoh Tafsir Bil Ma’tsur
a. Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an
Allah berfirman pada Q.S Al Baqarah : 37


Kemudian datang penjelasan tentang apa yang ditemui Adam pada Q.S Al A’raaf : 23




b. Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah
Bahwasanya Rosulullah menjelaskan makna syirik dari firman Allah padda Q.S al An’am : 82





c. Tafsir Al Qur’an dengan peerkataan Shahabat
Yaitu Hadirs yang diriwayaatkan oleh Thobari dari Abbas tentang firman Allah “ ألا تعدلوا “ di tafsirkan dengan “ ألا تميلوا “
Zarqoni menukil dari Imam Ahmad bahwasanya tafsir bil ma’tsur ada 2 jenis yaitu :
1. Tafsir yang menunjukkan kebenarannya dan diterimanya, dan tafsir ini tidak seseorangpun yang berhak menolaknya
2. Tafsir yang periwayatannya tidak shahih karena beberapa sebab, dan tafsir ini wajib ditolak dan tidak boleh digunakan
3. Contoh kitab tafsir bil ma’tsur
a. Jamiul bayan ‘an tafsir atau Al Qur’an Imam thobari
Dikarang oleh Al Haafid Muhammad bin Jariir Ath Thobari. Lahir pada tahun 224 H dan meninggal pada tahun 310 H. dan kehususan kitab ini adalah didalamnya teerdapat beberrapa perkataan sahabat dan tabi’in beserta penetapan sanatnya, dan merajihkan atau memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Adapun prakteknya kebanyakan membahass hukum dan menyebutkan I’rab. Ddan kadang kadang menyebutkan sanat yang tidak sahih tanpa ada peringatan. Dan tafsir ini merupakan tafsir teertua yang sampai kepada kita dengan lengkap.
b. Tarsir Al Qur’an Al ‘Adhim Ibn Katsir
Dikarang oleh Al Haafidh ‘Imaaduddin Isma’il ibn Umar ibn Katsir Al Damasyqii. Lahir pada 700 H dan meninggal pada 774 H. Kitab ini menafsirkan Al Qur’an dengan beberrapa hadits dan kalam sahabat, dan beberapa komentar umum sebagai celaan ataupun penilaian dan merajihkan antara satu dengan yang lainnya.
c. Ad Diraru Al Mantsuru fi at Tafsir bil ma’tsur, Suyuti
d. Dikaarang oleh imam Jalaluddin As Suyuti, lahir pada 749 H dan wafaat pada 911 H
e. Al Mahrir Al Wajiz ( ‘Abdul Haq ibn Ghalib ibn ‘Ithyah Al Andalusi : 481-536 H)
f. Al Kasyfu wal Bayaan lil Tsa’labi
g. Mu’alimut Tanziil lil Baghowi
h. Al Jawaahir Al Hasan lil Tsa’labi
i. Fathul Qodir lil Asy Syaukani
B. Tafsir bil Ra’yi
1. Pengertian
Tafsir yang mana para mufassirnya dalam menjelaskan makna Al Qur’an berdasarkan atas ijtihadnyaa bukan dengan perkataan para sahabat atau tabiin. Tafsir ini juga dinamakan Tafsir Diraayah atau Tafsir Ma’quul

Adapun Muhammad Ali Ash Shobuni membgi tafsir ini menjadi 2 yaitu :
a. Mahmuud : tafsir yang sesuai dengan maksud Allah, jauh dari kebodohan dan sejalan dengan qowaid bahasa arab dan sesuai dengan ketentuan dalam pemahaman Al Qur’an
b. Madzmuum
2. Contoh Kitab Tafsir bil Ra’yi al Mahmuud
a. Mafaatihul Ghoib (Muhammad ibn Umar ibn Husain Al Razi)
b. Anwaar at Tanziil wa Asraarit Ta’wiil (Abdullah ibn Umar al Baidhowi)
c. Libaabi at Ta’wiil fi Ma’aani at Tanziil (Abdullah ibn Muhammad Al Khaazin)
d. Mudaarakut Tanziil wa Haqaaiqut Ta’wiil ( Abdullah ibn Ahmad An Nasfii)
3. Contoh Kitab Tafsir bil Ra’yi al Al Madzmuum
a. Al Kasyfu (Muhammad Az Zamkhasyiri)
b. Tanziihil Quran ‘an Al Muthaa’an (al Qaadhii Abdul Jabaar)


Munaasabat (kesepadanan dan keserasian ) dalam Al Qur’an

A. Pengertian Munasabah
Bahasa : bentuk yang sama dan berdekatan
Istilah : hubungan ayat Al Qur’an antara satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sepeerti satu kata yang sssaling sesuai dan berurutan maknanya.
Ibn Arabii : pengarahan hubungan antara kata kata dalam suatu ayat dengan setiap ayat sebelum dan sesudahnya atau surat sebelum dan sesudahnya.
B. Macam Macam Munasibah Dalam Al Qur’an dan Contohnya
1. Munasabah antara Ayat Al Qur’an dengan ayat yang lain
Contoh antara


Dengan



2. Munasabah antara Surat Al Qur’an dengan surat yang lainnya
Yaitu Munasabah antara Surat Al Falaq dengan surat al Ikhlas. Sedangkan segi keserasiannya adalah bahwa Allah menerangkan tentang perintah Uluhiyyah pada surat Al Ikhlas kemudian diteruskan pada surat AL Falaq sebagai penjelas dan penjagaan terhadapnya kepada Allah dari berbagaimacam kejelekan.
Munasabah antara ayat dengan ayat yang lain kadang kala tertutup seperti firman Allah yang memberitahukan tentang apa-apa yang masuk ke bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan faidah nya yaitu menjadikan kedua ayat tersebut seperti pengawas dan syarikat.
Dan kadang hubungan keduanya adalah berlawanan sepeerti keserasian penyebutan rahmat setelah menyebutkan adzab atau kesenangan setelah ketakutan dan sebagainya yang merupakan tanda atau kelaziman logika seperti sebab dan yang menyebabkan atau alasan dan yang dialasi.

Asbabun Nuzul

A. Pengeertian
Yaitu peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Quran baik berupa suatu kejadian atau pertanyaan (mana’ul Qathan)
B. Kitab-kitab Asbabun Nuzul
1. Asbabun Nuzul karya Ali bin Madani
2. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi
3. Asbabun Nuzul karya Ibn Hajar
4. Lubab Al Mauqul fi Asbab An Nuzul karya As Suyuti
C. Manfaat
1. dapat mengetahui hikmah disyariatkannya syariat

2. Merupakan sarana terbaik untuk memahami makna Al


Wajah Islam Dalam Sinema Indonesia



Dari hasil penyelidikan kami menyimpulkan bahwa film-film Islam Indonesia sebagian besar masih menarasikan Islam dengan konteksnya walaupun akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran tema dan film-film Islam menghadirkan sebuah dialog yang konstruktif terhadap sebuah permasalahan yang dihadapi oleh umat baik skalasi personalitas maupun ranah keumatan secara luas. Wajah Islam yang direpresentasikan dalam film Indonesia masih tetap menegaskan permasalahan yang sangat kuat garis korespondensinya dengan sebuah keyakinan beragama dalam membangun sebuah pondasi keimanan yang kokoh walaupun dengan berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapinya. Konflik-konflik yang terjadi adalah duplikatisasi persoalan keumatan secara lebih ekstensif.


Film Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Islam pertama Indonesia yang buat, berdasarkan cerita dan skenario asrul Sani dan disutradarai juga olehnya. Film ini berkisah tentang seorang guru muda, bernama Ibrahim, mencoba menentang cara perfikir dan sistem pendidikan yang kolot dan bagaimana ia menghadapi berbagai macam cobaan. Usahanya dalam membuka kesadaran penduduk akhirnya membuahkan hasil berkat kesabarannya dan pintu kebenaran yang terbuka untuknya walaupun jalan itu diraih sangat melelahkan bagaikan tengah menyeberang titian serambut di belah tujuh. Diproduksi kembali pada tahun 1982 yang disutradarai oleh Chaerul Umam.

Berdasarkan temuan yang kami dapati jumlah produksi film-film Islam Indonesia masih terbilang sangat minim, artinya tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun disini kami tidak membahasnya karena belum ada sebuah penelitian yang mencoba menjelaskan ini. Kami berasumsi bahwa minimnya film-film Islam lebih dikarenakan kalah dengan tema-tema lainnya. Penelusuran yang kami dapati ada sebuah patahan yang sangat tajam di film Islam Indonesia. Kami membagikan kedalam dua periodesasi, sebelum dan sesudah gerakan reformasi ’98, artinya film-film yang diproduksi sebelum tahun 1998 sangat jauh berbeda dengan film-film yang diproduksi setelah reformasi 1998. perbedaan tersebut bukan pada aspek teknisnya melainkan narasi yang disuguhkan oleh film tersebut dan menurut hemat kami keduanya sangatlah memiliki karakteristik tersendiri terutama dalam aspek struktur form-nya.

Jika sebelum reformasi 1998 film-film Islam Indonesia menampakkan sebuah wajah yang sangat populis dan sangat aktual dengan permasalahan umat, tak berlebihan kami mengasumsikannya demikian karena hampir sebagian besar cerita yang dibangun berdasarkan problem aktual dan memiliki relevansinya dengan Islam bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai sebuah satuan kosmos dalam kehidupan terutama representasi keindonesiaannya tergambar dengan jelas. Nah, ini sangatlah berbeda dengan film-film Islam Indonesia yang dibuat pasca reformasi yang menurut kami masih kurang menampung aspirasi keumatan. Cerita yang diwartakan lebih kepada hal-hal yang bersifat elitis, borjuis dan domestik. Ini tak ubahnya dengan jualan mimpi, kemewahan dan permasalahan cerita cinta Sang tokoh padahal permasalahan yang di hadapi oleh umat Islam Indonesia jauh lebih besar. Jika sebelum reformasi film-film Islam Indonesia tampil sebagai lokomotif pembaharu dan membawa gagasan perubahan sosial sebagai bentuk liberasi dan emansipatoris terhadap umat yang tertindas (membela kaum mustadz afin—tertindas, teraniaya secara social dan politik) maka film-film Islam Indonesia semenjak pasca reformasi justru terjebak pada sandiwara kaum borjuis, konflik yang dibangun berdasarkan pada ranah domestik dan biasanya tidak memiliki sensitivitas gender, contoh yang sangat jelas ialah film Ayat-ayat Cinta yang kami kira gagal untuk membongkar hegemoni negara dan ulama dalam hal ini apa yang sangat relevan dengan konteks Mesir terkhusus ranah kehidupan para pelajar/mahasiswa asal Indonesia, dimana ruang demokrasi masih jauh dari harapan, padahal dalam novelnya sang pengarang Habiburrahman el Shirazy secara sangat eksplisit membongkar itu semua namun dalam film Ayat-ayat Cinta yang ditampilkan ialah pada aspek romansanya saja yang menjadi bangunan film. Selain itu, Film Kun Fa Ya Kun, Perempuan Berkalung Sorban, Doa Yang Mengancam yang kami kira masih terasa kering dan dangkal serta tidak memposisikan Islam sebagai agama yang membebaskan dan tafsiran yang sangat bias terhadap pesan-pesan agama dan ini pengecualian terhadap film Rindu kami PadaMu karya sutradara Garin Nugroho yang diproduksi tahun 2004, Ketika karya Deddy Mizwar yang diproduksi tahun 2006 dan Kiamat Sudah dekat yang juga di buat oleh Deddy Mizwar, kemudian film 3 Doa 3 Cinta yang kembali dibintangi oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Wajah film Islam yang telah berganti wajah tersebut kiranya haruslah tetap menampakkan karakternya sebagai pengejawantahan Islam yang rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maka kiranya kita dapat ciptakan sebuah film yang menjadi wacana Islam yang lebih bisa memberikan edukasi di tengah masyarakat yang sudah gerah akan dampak terpaan modernisasi.

Diantara beragamnya film-film nasional ternyata secara kuantitas film-film Islam masih sangat sedikit, sekitar 30-an jumlah film Islam yang dibuat di Indonesia sejak film pertama, Titian Serabut Di Belah Tujuh diproduksi pada tahun 1959. kedepannya kami kira perlu sekali digiatkan pembuatan film-film Islam baik level industri maupun jalur alternatif seperti memperkenalkannya di berbagai festival yang ada. Namun walaupun jumlahnya masih terbatas kita perlu apresiasi ternyata partisipasi penonton yang menonton film-film Islam semakin hari semakin meningkat jumlahnya dan prestasi ini telah diukir oleh film Ayat-ayat Cinta yang sukses besar dalam menyedot jumlah menonton hingga 3,5 juta penonton dan ini mengalahkan rekor sebelumnya yang disandang oleh film WaliSongo yang diproduksi pada tahun 1983 dengan dibintangi oleh Deddy Mizwar.

Persahabatan

Dan jika berkata, berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan?
Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Karena kau menghampirinya saat hati lapa dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian.Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.

Dan bilamana ia diam, hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, janganlah berduka cita; Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya, mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan. Karena kasih yang masih menyisakan pamrih, di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya,
untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?

Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.