Selasa, 13 April 2010

Wajah Islam Dalam Sinema Indonesia



Dari hasil penyelidikan kami menyimpulkan bahwa film-film Islam Indonesia sebagian besar masih menarasikan Islam dengan konteksnya walaupun akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran tema dan film-film Islam menghadirkan sebuah dialog yang konstruktif terhadap sebuah permasalahan yang dihadapi oleh umat baik skalasi personalitas maupun ranah keumatan secara luas. Wajah Islam yang direpresentasikan dalam film Indonesia masih tetap menegaskan permasalahan yang sangat kuat garis korespondensinya dengan sebuah keyakinan beragama dalam membangun sebuah pondasi keimanan yang kokoh walaupun dengan berbagai cobaan dan rintangan yang dihadapinya. Konflik-konflik yang terjadi adalah duplikatisasi persoalan keumatan secara lebih ekstensif.


Film Titian Serambut Dibelah Tujuh adalah film Islam pertama Indonesia yang buat, berdasarkan cerita dan skenario asrul Sani dan disutradarai juga olehnya. Film ini berkisah tentang seorang guru muda, bernama Ibrahim, mencoba menentang cara perfikir dan sistem pendidikan yang kolot dan bagaimana ia menghadapi berbagai macam cobaan. Usahanya dalam membuka kesadaran penduduk akhirnya membuahkan hasil berkat kesabarannya dan pintu kebenaran yang terbuka untuknya walaupun jalan itu diraih sangat melelahkan bagaikan tengah menyeberang titian serambut di belah tujuh. Diproduksi kembali pada tahun 1982 yang disutradarai oleh Chaerul Umam.

Berdasarkan temuan yang kami dapati jumlah produksi film-film Islam Indonesia masih terbilang sangat minim, artinya tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun disini kami tidak membahasnya karena belum ada sebuah penelitian yang mencoba menjelaskan ini. Kami berasumsi bahwa minimnya film-film Islam lebih dikarenakan kalah dengan tema-tema lainnya. Penelusuran yang kami dapati ada sebuah patahan yang sangat tajam di film Islam Indonesia. Kami membagikan kedalam dua periodesasi, sebelum dan sesudah gerakan reformasi ’98, artinya film-film yang diproduksi sebelum tahun 1998 sangat jauh berbeda dengan film-film yang diproduksi setelah reformasi 1998. perbedaan tersebut bukan pada aspek teknisnya melainkan narasi yang disuguhkan oleh film tersebut dan menurut hemat kami keduanya sangatlah memiliki karakteristik tersendiri terutama dalam aspek struktur form-nya.

Jika sebelum reformasi 1998 film-film Islam Indonesia menampakkan sebuah wajah yang sangat populis dan sangat aktual dengan permasalahan umat, tak berlebihan kami mengasumsikannya demikian karena hampir sebagian besar cerita yang dibangun berdasarkan problem aktual dan memiliki relevansinya dengan Islam bukan hanya sebagai agama melainkan sebagai sebuah satuan kosmos dalam kehidupan terutama representasi keindonesiaannya tergambar dengan jelas. Nah, ini sangatlah berbeda dengan film-film Islam Indonesia yang dibuat pasca reformasi yang menurut kami masih kurang menampung aspirasi keumatan. Cerita yang diwartakan lebih kepada hal-hal yang bersifat elitis, borjuis dan domestik. Ini tak ubahnya dengan jualan mimpi, kemewahan dan permasalahan cerita cinta Sang tokoh padahal permasalahan yang di hadapi oleh umat Islam Indonesia jauh lebih besar. Jika sebelum reformasi film-film Islam Indonesia tampil sebagai lokomotif pembaharu dan membawa gagasan perubahan sosial sebagai bentuk liberasi dan emansipatoris terhadap umat yang tertindas (membela kaum mustadz afin—tertindas, teraniaya secara social dan politik) maka film-film Islam Indonesia semenjak pasca reformasi justru terjebak pada sandiwara kaum borjuis, konflik yang dibangun berdasarkan pada ranah domestik dan biasanya tidak memiliki sensitivitas gender, contoh yang sangat jelas ialah film Ayat-ayat Cinta yang kami kira gagal untuk membongkar hegemoni negara dan ulama dalam hal ini apa yang sangat relevan dengan konteks Mesir terkhusus ranah kehidupan para pelajar/mahasiswa asal Indonesia, dimana ruang demokrasi masih jauh dari harapan, padahal dalam novelnya sang pengarang Habiburrahman el Shirazy secara sangat eksplisit membongkar itu semua namun dalam film Ayat-ayat Cinta yang ditampilkan ialah pada aspek romansanya saja yang menjadi bangunan film. Selain itu, Film Kun Fa Ya Kun, Perempuan Berkalung Sorban, Doa Yang Mengancam yang kami kira masih terasa kering dan dangkal serta tidak memposisikan Islam sebagai agama yang membebaskan dan tafsiran yang sangat bias terhadap pesan-pesan agama dan ini pengecualian terhadap film Rindu kami PadaMu karya sutradara Garin Nugroho yang diproduksi tahun 2004, Ketika karya Deddy Mizwar yang diproduksi tahun 2006 dan Kiamat Sudah dekat yang juga di buat oleh Deddy Mizwar, kemudian film 3 Doa 3 Cinta yang kembali dibintangi oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra.

Wajah film Islam yang telah berganti wajah tersebut kiranya haruslah tetap menampakkan karakternya sebagai pengejawantahan Islam yang rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan konteks keindonesiaan. Maka kiranya kita dapat ciptakan sebuah film yang menjadi wacana Islam yang lebih bisa memberikan edukasi di tengah masyarakat yang sudah gerah akan dampak terpaan modernisasi.

Diantara beragamnya film-film nasional ternyata secara kuantitas film-film Islam masih sangat sedikit, sekitar 30-an jumlah film Islam yang dibuat di Indonesia sejak film pertama, Titian Serabut Di Belah Tujuh diproduksi pada tahun 1959. kedepannya kami kira perlu sekali digiatkan pembuatan film-film Islam baik level industri maupun jalur alternatif seperti memperkenalkannya di berbagai festival yang ada. Namun walaupun jumlahnya masih terbatas kita perlu apresiasi ternyata partisipasi penonton yang menonton film-film Islam semakin hari semakin meningkat jumlahnya dan prestasi ini telah diukir oleh film Ayat-ayat Cinta yang sukses besar dalam menyedot jumlah menonton hingga 3,5 juta penonton dan ini mengalahkan rekor sebelumnya yang disandang oleh film WaliSongo yang diproduksi pada tahun 1983 dengan dibintangi oleh Deddy Mizwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar